Warisi, Turuni, dan Lazimi.
8 mins read

Warisi, Turuni, dan Lazimi.

Dalam ber-NU, terlebih dahulu kita harus memahami apa yang dimaksud Aswaja dalam pemahaman yang dianutnya. Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam langkah dan sikap, perlu menjadi landasan bagi seorang pengurus, bahkan warga Nahdliyin.

أما أهل السنة فهم أهل التفسير و الحديث و الفقه فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء بعده الراشدين وهم الطائفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون و المالكيون والحنبليون

“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan sunnah Khulafa’urrasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat. Ulama mengatakan : Sungguh kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam mazhab yang empat yaitu madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”

Dikutip dari: Kitab Ziyadah at-Ta’liqat karangan Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari

Dalam menentukan hukum Fiqih, Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. NU tidak boleh “HANYA” berpegang/berlandaskan pada tiga sumber saja, tetapi juga harus menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang sama antara keduanya (qiyas).

NU Dalam Bingkai Negara dan Ajaran Agama

Dalam penerapannya, di Negara Republik Indonesia mayoritas menggunakan faham Ahlussunnah Wal Jamaah, sehingga dalam beberapa aturan agama yang menuntut untuk mengharamkan sesuatu yang berdampak buruk, meskipun tidak tercantum secara tekstual didalam sumber hukum akan tetap diharamkan penggunaanya melalui mekanisme qiyas. Seperti contoh mengonsumsi sabu-sabu yang secara teks, tidak disebut secara khusus keharamannya didalam Al-Qur’an dan Hadits.

Maka dengan agama islam yang berhaluan ahlussunnah wal jamaah ini adalah islam yang ramah dengan budaya dan kearifan lokal. Sehingga islamnya orang nu tidak akan pernah mentakfiri, mentabdi’i, karena keberadaan diluar islam didalam kamus NU disebut dengan sebutan non muslim.

Dalam konteks bernegara, NU tidak akan pernah melupakan budaya bangsa. Diantara para ulama, Nahdlatul Ulama adalah yang bersikukuh mendukung pencantuman ketuhanan yang maha esa dengan menjalankan syariat menurut ajaran agama masing-masing demi persatuan bangsa. Bahkan NU tidak pernah tercatat selangkah kaki pun, menolak hasil kearifan bangsa ini tentang Pancasila.

Kita sebagai pengurus NU harus mengenal diri kita. NU harus senantiasa bersapihan dengan Umaro’ dan jangan menjadi kader yang hipokrit. Satu sisi mencela kebijakan pemerintah, sementara disisi yang lain menggunakan kebijakan pemerintah dalam kehidupan sehari-harinya. Maka haram hukumnya bagi nahdliyin untuk kudeta serta mengkritik keras kepada pemerintah.

Ketika telah berakhir masa kontestasi demokrasi, kita tidak boleh mempermasalahkan hasil keputusan yang telah benar-benar melalui proses konstitusi. Negara butuh kepada warga nahdliyyin untuk mewujudkan pembangunan yang notabene keberadaan warga nahdliyin tidak berada diangka minoritas.

Sebetulnya, dalam catatan sejarah sudah kita ketahui bersama bahwa lahirnya hari pahlawan diawali dengan hari santri yang diprakarsai oleh resolusi jihad KH. Hasyim Asy’ari. Betul jika beranggapan peringatan 10 November ini milik bangsa, namun asas ini berasal dari resolusi jihad setelah NICA (Netherlands Indies Civil Administration) (red: pemerintahan sipil Hindia Belanda yang dibentuk di pengasingan) ingin kembali menguasai bangsa ini. Ini merupakan satu hal yang seharusnya menjadi pemicu sisi percaya diri kita sebagai warga Nahdliyin.

Maka inilah masa lalu Mu’assis Nahdlatul Ulama. Dalam tantangan bermasyarakat, apa peran aktif kita. Apakah hanya membanggakan nama dengan memamerkan lembaran struktur ini. Rencanakanlah program yang pasti dalam mekanisme yang detail, hingga menemukan priority program yang mempunyai ciri berstatus urgen untuk kemaslahatan.

NU dan Masyarakatnya

Indonesia setidaknya ada 276 juta jiwa menurut survei Litbang Kompas. Sehingga melalui persentase tersebut ditemukan 61% warga Nahdliyin. Diranah kita yaitu Kalimantan Barat, dengan angka basis islam 59,22% dari sekitar 5.598.190, adalah 3.359.978 masyarakat Kalimantan Barat beragama islam. Sebuah riset membuktikan dari 3.359.978 itu 72,9% atau 2.416.816 adalah Nahdliyin, dan survei ini belum mencakup ranah pedalaman. Sedangkan keberadaan 581.859 warga Kabupaten Ketapang, dengan angka muslim 64,8 % adalah 377.045 jiwa. Sedangkan dari 377.045 muslim, 72,9% Nahdliyin. Maka, setelah dipresentase dengan 72,9% menghasilkan 274.865 jiwa Nahdliyin di Kabupaten Ketapang ini.

Maka yang menjadi pertanyaan adalah, jumlah sebanyak ini apakah dibiarkan begitu saja atau dikaitkan dalam rangka pembangunan daerah yang kita banggakan bersama. Serta, dimana letak NU merasa percaya diri dalam rangka ikut andil untuk mensukseskan pembangunan ini.

Pesan hirarki untuk membangun Koherensi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama untuk kita. Sebuah guidance kepada kita tentang trilogi disiplin.

  1. Disiplin aturan. Lakukanlah tata kelola sesuai dengan aturan: Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga, Peraturan Perkumpulan, Peraturan PBNU, Surat Keputusan PBNU/Edaran.
  2. Disiplin Struktur. Mari kita bimbing dan ayomi seluruh pengurus yang bersentuhan langsung dengan masyarakat berupa MWC dan Ranting. Dan sebaliknya, komponen ini harus berada dalam bingkai sam’an wa tho’atan kepada sektor Cabang dan seterusnya. Inilah yang akan mewujudkan Koherensi (keterpaduan gerak, tata kelola). seperti contoh kecil penggunaan Tanda Tangan Elektronik di aplikasi digdaya NU. Sehingga setiap apa yang disampaikan Pengurus Cabang pasti dilatarbelakangi guidance dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Gerakan inilah yang harus dikomandani oleh Tanfidziyah dan diingatkan oleh Syuriah.
  3. Disiplin Kebijakan. Kebijakan yg datang dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama seharusnya itulah yang dilazimi dan diwarisi sampai tingkat Ranting. Wajah koherensi tidak melulu dalam bentuk struktural, tapi juga kultural. Sebab besarnya Nahdlatul Ulama hari ini lahir dari ranah kultural yang mengakar kuat hingga memperkokoh struktural. Seperti pesantren, Majelis Ta’lim, dan Pengajian Kampung yang bebasis pengajaran Ahlussunnah Wal Jamaah.

NU dan Politik

Pengurus NU harus pandai berpolitik. Nahdliyin yang tidak berpolitik adalah Nahdliyin yang kolot. Namun penerapannya, harus rela melepaskan atribut dengan tujuan menjaga kestabilan organisasi. Namun kedewasaan secara sikap harus tetap kita kedepankan. Dalam sebuah ungkapan, (yang konstan itu perbedaan, bukan persamaan. Tapi dalam perbedaan pasti ada kesamaan). Semua yang punya dukungan pasti punya tujuan yg sama yaitu kebaikan daerah. Jangan sampai berlarut dalam perbedaan pilihan hingga menyebabkan kesenjangan. Yang semacam ini merupakan ketidakdewasaan kader. “Bodo udah lewat, pintar tak sampai”. Banyak orang yang tak siap kalah, namun memaksakan diri turun ke gelanggang. Maka seperti inilah yang akan menjadi goresan-goresan penyebab keretakan dalam berorganisasi.

Sehingga dalam dinamikanya akan menemukan berbagai rintangan, bahkan cacian. Dalam kepekaan ini pandailah dan bersabarlah, seperti dalam kutipan dari sayyidina ali: “Jangan repot menjelaskan dirimu pada orang lain, karena orang yang mencintaimu tak butuh itu, dan yg membencimu tak akan percaya itu”.

Mohon dikawal Manhaj Fiqroh as shahihah Linnahdliyin

  1. Tawassuth atau moderat adalah berada di tengah-tengah, tidak terjebak pada titik-titik ekstrim, tidak condong ke kiri atau cenderung ke kanan, seimbang antara dalil aqli (akal) dan naqli (teks kitab suci), tidak memihak tetapi lebih bersifat menengahi. Dalam kehidupan sehari-hari, tawassuth terekspresikan pada sikap yang seimbang antara pikiran dan tindakan, tidak gegabah dalam mengambil keputusan, apalagi menghakimi.
  2. Tawazun. Sikap menyeimbangkan segala aspek dalam kehidupan, tidak condong kepada salah satu perkara saja. Seimbang antara naqly dan aqly, antara syariat (lahiriah) dan hakikat (kerja hati). Mari mengkaji sufistik, jangan hanya berkutat dalam pemahaman fiqih untuk meningkatkan kapasitas kita sebagai Pengurus NU.
  3. Tasamuh, toleran. Saling menghormati dan menghargai antara manusia satu dengan manusia lainnya. Sehingga NU tidak akan mudah mengkafirkan orang lain. Orang toleran adalah meyakini aqidahnya dengan memahami ajaran aqidah dan mengamalkan, tapi pada sisi yang lain tetap merelakan agama lain seperti hal nya itu juga/tenggang rasa.
  4. I’tidal. seorang Muslim harus mengedepankan keadilan, keadilan harus diperjuangkan dan ditegakkan dalam segala hal dan kondisi dalam melihat persoalan apapun. Maka dengan inilah akan tercipta bingkai rahmatan lil alamin sebagai inti dari ahlussunnah wal jamaah.

Pesan kami, jangan ber-NU apa adanya. Karena tantangan yang kita hadapi hari ini sangatlah besar. Dalam mekanisme perencanaanya, meskipun tidak banyak lakukan lah program yang nyata. Warisi, turuni, dan lazimi. Penguatan struktur, penguatan ranting, dan penguatan kaderisasi.Boleh bertepuk tangan, tapi ingatlah, tantangan akan lebih besar, Terima Kasih.

Artikel ini dinarasikan dari sambutan Prof. Dr. Syarif, S.Ag., MA, sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU Kalimantan Barat, pada acara Pelantikan PCNU Kabupaten Ketapang.

Penulis: Muchtarudin Yasin.