Tafsir Surat At-Taubah Ayat 46: Ketika Allah Tidak Menginginkan Kita Berbuat Baik
7 mins read

Tafsir Surat At-Taubah Ayat 46: Ketika Allah Tidak Menginginkan Kita Berbuat Baik

Dalam hidup, seseorang tidak akan terlepas dari dua pilihan: berbuat baik atau berlaku buruk. Secara fitrah, manusia diciptakan dengan naluri cinta terhadap kebaikan dan ketaatan. Sementara itu, keburukan muncul dari gejolak hawa nafsu atau bisikan setan yang menguasai dirinya.  Sebagai umat Islam, kita harus senantiasa memohon petunjuk dan taufik kepada Allah agar terhindar dari kedua keburukan tersebut. Melalui taufik dan hidayah, kita akan selalu diarahkan ke jalan kebajikan. Siapa pun yang diberikan taufik oleh Allah akan termotivasi dan dimudahkan untuk beramal saleh.

Namun, bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Jika seseorang tidak diinginkan oleh Allah untuk berada dalam lingkaran kebaikan? Ada sekelompok orang yang justru dibiarkan oleh Allah tanpa perhatian sedikit pun.  

Al-Qur’an menyindir kelompok semacam ini—mereka yang Allah tidak sukai dan tidak kehendaki untuk berada dalam kebaikan. Hal ini lebih jelas dalam Surah At-Taubah ayat 46.

وَلَوْ اَرَادُوا الْخُرُوْجَ لَاَعَدُّوْا لَهٗ عُدَّةً وَّلٰكِنْ كَرِهَ اللّٰهُ انْۢبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيْلَ اقْعُدُوْا مَعَ الْقٰعِدِيْنَ   

walau arâdul-khurûja la’a‘addû lahû ‘uddataw wa lâking karihallâhumbi‘âtsahum fa tsabbathahum wa qîlaq‘udû ma‘al-qâ‘idîn.

Artinya, “Seandainya mereka mau berangkat (sejak semula), niscaya mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu. Akan tetapi, (mereka memang enggan dan oleh sebab itu) Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Dia melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan (kepada mereka), “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” Ayat ini masih berkaitan dengan dua ayat sebelumnya, yang menceritakan tentang sekelompok orang yang enggan ikut berjihad dalam Perang Tabuk. Perang Tabuk sendiri merupakan peperangan antara kaum Muslimin melawan Pasukan Romawi yang dipimpin oleh Raja Heraklius, yang terjadi pada bulan Rajab tahun 9 Hijriah.

Di antara kaum Muslimin, ada sejumlah orang yang datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengadu dan meminta izin agar tidak perlu ikut berperang bersama Nabi dan para sahabat. Mereka berdalih bahwa jarak yang jauh dan kondisi musim yang begitu panas serta paceklik menjadi alasan ketidakhadiran mereka. Namun, alasan tersebut hanyalah tipu muslihat mereka karena tidak ingin turut serta dalam jihad.

Perilaku mereka di hadapan Nabi inilah yang akhirnya menandai mereka sebagai golongan munafik, membedakan mereka dari golongan mukmin, sebagaimana dijelaskan oleh Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib (Beirut: Dar Ihya At-Turots, 1420 H, XVI/59):

إِنَّ الْمُؤْمِنِينَ مَتَى أُمِرُوا بِالْخُرُوجِ إِلَى الْجِهَادِ تَبَادَرُوا إِلَيْهِ وَلَمْ يَتَوَقَّفُوا، وَالْمُنَافِقُونَ يَتَوَقَّفُونَ وَيَتَبَلَّدُونَ وَيَأْتُونَ بِالْعِلَلِ وَالْأَعْذَارِ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, kapan pun mereka diperintahkan untuk berjihad, mereka segera bergegas melaksanakannya dan tidak ragu. Sedangkan orang-orang munafik akan berhenti, bersikap lamban, dan mencari-cari alasan serta dalih.”  Sifat orang-orang mukmin adalah segera melaksanakan apa pun yang diperintahkan Rasulullah tanpa ragu. Tidak lazim bagi mereka meminta izin untuk absen dari berjihad. Pemuka kaum Muhajirin dan Anshar pun tidak pernah sekalipun meminta izin kepada Nabi untuk tidak ikut berperang.   Mereka sepenuhnya sadar bahwa Allah telah memerintahkan mereka untuk berjihad, sehingga bagi mereka, tidak ada alasan untuk meminta izin.

Bahkan, jika Nabi memerintahkan mereka untuk tidak ikut berperang, hati mereka pasti akan terasa berat dan enggan mengikuti perintah tersebut. (hlm. 60). Hal ini sangat berbeda dengan perilaku orang-orang munafik di masa itu, yang merasa berat untuk berjihad. Sikap mereka terlihat jelas dari tidak adanya persiapan sebelum berperang.   Andai mereka benar-benar berniat ikut, tentu mereka sudah mempersiapkan diri sejak awal, mulai dari amunisi, bekal perjalanan, hingga persenjataan. Namun, mereka tidak melakukan persiapan apa pun, meskipun sebenarnya mampu. Ini menunjukkan bahwa sejak awal, tidak ada niat atau keinginan dari mereka untuk ikut berjihad. Karena niat mereka untuk tidak ikut sudah ada sejak awal, Allah pun membiarkan mereka. Mereka dikeluarkan dari barisan pejuang dan lebih baik tinggal di Madinah bersama wanita, anak-anak, orang lemah, dan yang sakit.   Allah dengan tegas menetapkan bahwa golongan ini adalah mereka yang dalam hati tidak ada sedikit pun cahaya keimanan, sebagaimana disebutkan dalam ayat 45:

اِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوْبُهُمْ فَهُمْ فِيْ رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُوْنَ

Innamâ yasta’dzinukalladzîna lâ yu’minûna billâhi wal-yaumil-âkhiri wartâbat qulûbuhum fa hum fî raibihim yataraddadûn Artinya, “Sesungguhnya yang meminta izin kepadamu (Nabi Muhammad) untuk tidak berjihad hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hati mereka penuh keraguan, sehingga mereka selalu bimbang dalam keraguan itu.” Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir (Damaskus, Dar Al-Fikr, 1991: X/239), peristiwa ini mengandung hikmah besar. Andai mereka diikutsertakan dalam peperangan, justru akan menimbulkan bahaya bagi kaum muslimin.

Sifat munafik mereka bisa melemahkan semangat kaum muslimin, mengacaukan strategi, dan menghasut orang-orang yang imannya lemah untuk berkhianat atau berbelot. Hati-Hati, Allah Tidak Menghendaki Kita Berbuat Baik Hal menarik yang diungkapkan dalam penggalan berikutnya adalah bahwa Allah tidak menghendaki keberangkatan mereka bersama pasukan Rasulullah. Allah membuat mereka malas dan menganggap remeh jihad karena keengganan mereka sejak awal.

Dari sini, kita dapat memahami bahwa memang ada golongan yang tidak diberikan kesempatan oleh Allah untuk berbuat baik.   Sebagai seorang mukmin, kita harus berhati-hati dan selalu husnuzan (berprasangka baik) kepada Allah agar senantiasa diberikan jalan yang memudahkan kita berada dalam lingkaran kebaikan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak menutup kemungkinan kita bisa saja berlaku seperti yang diceritakan dalam ayat tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang bisa kita ambil agar terhindar dari golongan orang-orang yang tidak diberi kesempatan oleh Allah untuk berbuat baik. Pertama, jangan sampai muncul rasa enggan dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Belajar dari peristiwa Perang Tabuk, ada sekelompok orang yang memiliki niat buruk untuk melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga Allah sendiri tidak menghendaki mereka ikut serta dalam barisan kaum Muslimin. Contoh sederhananya, mengulur-ulur waktu shalat ketika azan sudah berkumandang tanpa alasan yang jelas hingga akhirnya dikerjakan di paruh waktu.

Kita harus waspada dan khawatir, apakah ini pertanda bahwa kita termasuk orang-orang yang ‘dinomorduakan’ oleh Allah dan ada sifat orang munafik dalam diri kita. Kedua, hal yang juga tak boleh terlewatkan ialah selalu berdoa memohon agar diberikan taufik dalam rangka mematuhi perintah-Nya. Karena taufik sendiri merupakan kemampuan yang Allah berikan untuk dapat menjalankan ketaatan, dan kondisi tersebut diberikan oleh Allah kepada hamba yang diridhai dan dicintainya, sebagaimana disebut oleh Al-Baijuri dalam Tuhfatul Murid Syarh Jauharatit Tauhid, (Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2004: 113).  

Mereka yang tidak diberikan taufik pasti akan mendapati bahwa pintu menuju kebaikan semakin sulit terbuka. Sebaliknya, pintu menuju keburukan terbuka lebar bagi mereka, bahkan dimudahkan untuk memasukinya. Orang-orang yang terjerumus ke dalam keburukan ini adalah mereka yang dijauhkan oleh Allah dari rahmat, cinta, dan ridha-Nya.  

Oleh karena itu, berdasarkan ayat 46 dari Surah At-Taubah, hal ini menjadi bukti bahwa ada sekelompok orang yang tidak diinginkan oleh Allah untuk berbuat baik dan tidak diberi kesempatan untuk melakukannya. Hal ini bermula dari niat mereka yang sejak awal tidak menggubris perintah-Nya, sehingga mereka sendiri akan menyesal karena terhalang dari pintu kebaikan.

Solusinya adalah bersegeralah dalam setiap ajakan kebaikan dan amal saleh. Hindari sikap menunda-nunda dan mencari alasan. Berdoalah agar selalu diberikan taufik yang memudahkan kita menuju jalan dan pintu kebaikan tersebut. Wallahu A’lam.  

nuOnline: Ustadz Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam