Atsar seorang ulama tidaklah sempit hanya dalam sebuah bentuk fisik
5 mins read

Atsar seorang ulama tidaklah sempit hanya dalam sebuah bentuk fisik

nuketapang.com – Membaca dan menganalisa sebuah mahakarya seorang ulama kita tahu merupakan pembelajaran baik untuk generasi hari ini. Dalam literaturnya, mahakarya atau atsar seorang ulama tidaklah sempit hanya dalam sebuah bentuk fisik. Namun sebuah torehan, legacy yang ditempa melalui sebuah perjuangan adalah bahan baku pemacu semangat amunisi sebuah generasi.

Dalam karya tulis berbentuk buku berikut ini, akan kita temukan dua pembelajaran mahakarya baik dalam bentuk fisik maupun gambaran perjuangan. Sang penerus dari Hadratussyaikh KH. Hasyim asy’ari, KH. Abdul Hakim Mahfudz memaparkan pemikirannya untuk menantang refleksi pendahulunya agar tertuang dalam wajah tulisan. Tidak lain dengan maksud agar menjadi gambaran sebuah perjuangan besar Rais Akbar Nahdlatul Ulama dengan berbagai kisah sejarahnya, sehingga menginspirasi untuk perjuangan sang pembaca.

Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari telah meninggalkan warisan yang amat berharga bagi kita semua. Salah satunya adalah karya-karya beliau. Namun kebanyakan dari kita masih memperlakukannya hanya sebatas sebagai sumber belajar, tanpa maksud dan tujuan beliau jika dilihat dari latarbelakang sosial di saat beliau menuliskan kitab dan risalahnya. Setelah membaca kitab risalah beliau, dengan melihat latar sosialnya, dapat disimpulkan bahwa ternyata karya-karya Hadratussyaikh ini ditulis dengan tujuan untuk menyatukan umat Islam. Karya-karya beliau ditulis sebagai simbol perjuangan untuk melawan kolonialisme Belanda yang telah menyempitkan ruang gerak syiar Islam.

Buku ini ingin mengungkapkan perjuangan Hadratussyaikh dalam menyatukan umat ini dengan beberapa karya dan legacy yang beliau wariskan kepada kita semua. Hadratussyaikh tidak hanya memberikan kita warisan pemikiran dan ilmu yang bermanfaat, namun lebih dari itu, beliau telah meneladankan kepada kita gerakan dan harakah perjuangan untuk bangsa ini. Sudah saatnya kita semua bisa memulai harakah untuk memberdayakan masyarakat dan menyatukan umat dengan berbagai cara, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Hadratussyaikh. Sekarang, mari kita teruskan warisan intelektual dan harakah yang telah diwariskan Hadratussyaikh. Karena warisan ulama adalah warisan kenabian yang patutnya untuk diperjuangkan bersama. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita semua untuk dapat mengemban amanah ini, demi kemaslahatan agama, nusa dan bangsa.

Menurut keterangan di berbagai tulisan dan publikasi, buku ini bersumber dari sebuah Inisiasi pemikiran Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Abdul Hakim Mahfudz yang kemudian ditulis oleh tiga orang alumni Tebuireng; Mohamad Anang Firdaus, M. Rizki Syahrul Ramadhan, dan Ilham Zidal Haq dengan penyematan judul “Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari Pemersatu Umat Islam Indonesia”.

Dalam uraiannya, KH. Abdul Hakim Mahfudz menuturkan awal mula ditulisnya buku ini adalah dari tulisan ikhtisar (rangkuman) beliau terhadap perjalanan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam memimpin dan mengelola Pondok Pesantren Tebuireng dimulai dari cerita ketika beliau belajar di Mekah pada usia sekitar 21-22 tahun yang pada akhirnya kembali lagu ke Indonesia pada umur 28 tahun dan mendirikan Pesantren Tebuireng.

Dalam sejarahnya, “Pesantren Tebuireng dibangun di lokasi yang menjadi bukti Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang sangat luar biasa, karena sejak di Makkah Hadratussyaikh mengikuti perkembangan politik dunia yang bertepatan dengan melemahnya kekuatan Islam saat itu, yakni Turki Utsmani.”

Dari kejadian itu banyak diskusi-diskusi di Makkah tentang perjuangan untuk mempertahankan Islam supaya tidak tumbang, sehingga hal ini juga dilakukan oleh Hadratussyaikh sebelum kembali ke tanah air. Saat itu beliau bersama enam orang sahabatnya. Mereka bertujuh berikrar di depan Multazam untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi negaranya masing-masing, maka Inilah semangat pemuda pada saat itu pada jenjang usia 26-27 tahun.” cerita Gus Kikin.

Cicit Kiai Hasyim Asy’ari itu, memahami kalau Pesantren Tebuireng itu sudah seharusnya bangkit sebagaimana perjuangan Hadratussyaikh dulu. Maksudnya ada sesuatu di Tebuireng yang ditinggalkan oleh Hadratussyaikh dalam beberapa keadaan sangat dibutuhkan oleh umat. Dan tentunya itu bisa menjadi contoh untuk generasi mendatang dalam mempertahankan kekuatan agama islam.

Mengenai karya-karya KH. Hasyim Asy’ari, Yai Kikin memahami jika karya-karya Hadratussyaikh bukanlah kitab yang tujuannya untuk pengembangan ilmu saja, melainkan untuk memotivasi sebuah pergerakan dan karena ada kondisi dimana Hadratussyaikh harus menulis kitab tersebut, contoh saja kitab dhou al-Misbah kitab yang membahas tentang pernikahan yang singkat.

Dalam muqoddimahnya Hadratussyaikh menuliskan kalau kitab ini ditulis karena banyak masyarakat yang tidak paham dengan hukum perkawinan, tujuan Hadratussyaikh menuliskan kitab ini untuk menyederhanakan dan agar mudah dipelajari serta juga bertujuan untuk respon Hadratussyaikh terhadap ordonansi perkawinan di zaman kolonial pada tahun 1925.

Beliau berpesan bahwa ada perubahan yang mendasar bagi seluruh umat manusia khususnya Islam yang terjadi juga di beberapa negara dengan melemahnya umat Islam secara sistematik, “inilah yang perlu kita pikirkan dan merekonstruksi sejarah kemudian menjadikan landasan apa yang akan kita lakukan ke depannya karena kita tidak hanya menghadapi perubahan budaya saja tetapi serangan yang muncul dari gadget juga termasuk sesuatu yang sangat luar biasa yang kita harus mampu mencari solusi agar tidak kehilangan pijakan kita,” pesan Kyai Kikin.

Tulisan ini berdasarkan beberapa informasi dan edukasi di berbagai media publikasi baik media cetak maupun media online.

Oleh: Misruki (Wakil Ketua PCNU Ketapang)