Apatisme Ironi di Negeri Demokrasi
Ketapang, nuketapang.com
Negara demokrasi yang dikenal sebagai salah satu sistem pemerintahan yang dimana pemimpin Negara atau Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Memberikan kebebasan terhadap rakyat agar menentukan orang yang tepat untuk memimpinnya. Namun sangat tidak relevan ketika pada masa pemilihan tersebut, rakyat enggan berpartisipasi (apatis) dalam hal pemilihan. Akibatnya, tonggak kepemimpinan jatuh kepada mereka yang tidak menjalankan amanat rakyat dengan baik. Namun ironinya rakyat menjadi golongan yang nyinyir meneriakan kinerja buruk sang pemimpin, tanpa menyadari bahwa kesalahan disebabkan oleh sikap apatisme masyarakat itu sendiri.
Pemilihan wakil rakyat sebagaimana dalam UU No. 22 tahun 2007 dijelaskan sebagai Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pemahaman tersebut, tidak mengherankan Pilkada merupakan hal yang pasti dalam proses penyelenggaraan kedaulatan
negara.Selain itu, momentum ini juga merupakan bentuk aktualisasi dari negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi sebagaimana yang kita fahami bahwa demokrasi merupakan pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jelas dalam hal ini menunjukan bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Sehingga jelas dalam hal ini Pilkada merupakan bagian dari proses demokrasi untuk memilih wakil rakyat yang berdaulat. Maka tidak heran penyebutan dalam hal tersebut kita fahami dengan istilah Pesta Demokrasi.
Selanjutnya, harus dipahami pula bagi negara seperti Indonesia yang menganut sistem demokrasi tidak langsung, kedaulatan dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang merepresentasikan kehendak rakyat, dan rakyat sendiri yang memilih dan menentukan sebelumnya. Nah, untuk menentukan siapa yang menjadi representasi rakyat inilah didasarkan pada hasil pemilihan yang salah satunya adalah pemilihan umum kepala daerah. Maka, menjadi penting kaitannya semua masyarakat bisa terlibat secara akumulatif, dalam momentum yang menentukan ini. Hal ini lantaran, untuk memilih pemimpin yang memiliki kapabilitas dan kapasitas diperlukan partisipasi dari masyarakat terutama bagi generasi muda, yang tak terkecuali bagi kaum santri. Setiap elemen masyarakat harus ikut berpartisipasi sebagai wujud pengamalan asas demokrasi. Namun, dewasa ini banyak diantara generasi muda yang mulai bersikap apatis terhadap segala bentuk aktivitas politik termasuk partisipasi dalam pesta demokrasi. Bukan tidak mungkin dengan rendahnya angka partisipasi nantinya akan menurunkan tingkat legitimasi maupun kualitas pemimpin yang terpilih. Jelas, dengan menurunnya tingkat legitimasi tersebut, sedikit banyak juga akan
berpengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.
Ada beragam dalih yang membuat seseorang memutuskan untuk bersikap demikian. Tidak kenal terhadap calon pemimpin dan rasa kecewa terhadap politik menjadi dalih yang paling kuat mendorong tumbuhnya sikap apatis, Bagaimana mungkin rakyat mau memilih calon pemimpin yang tidak mereka kenal? Bagaimana mungkin rakyat akan memilih calon pemimpin yang pernah membuat mereka kecewa? Jika tidak ada pilihan lain, maka sikap apatisme dianggap sebagai
jalan terbaik. Sedangkan para calon pemimpin adalah mereka yang akan mewujudkan angan rakyat. Bagaimana mungkin kesejahteraan maupun angan rakyat bisa terwujud melalui tangan seorang pemimpin yang salah, atau bahkan bukan hanya tidak bisa mensejahterakan rakyat, malah menumpang hidup melalui modus menjalankan amanah rakyat.
Maka, ketika masih ada daftar panjang urusan orang banyak yang seharusnya terpenuhi dengan adanya kualitas yang terus meningkat, kita harus berfikir apakah sikap apatisme masih relevan.? Dimana ruh dari sebuah demokrasi tadi tidak lain adalah “rakyat”. Mungkin sikap demkianlah yang dimaksud penulis sebagai asas Demokrasi yang memilukan di panggung keadilan Negeri ini.
Penulis : Muchtaruddin Yasin