Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 128:  Doa Nabi Ibrahim agar Dikaruniai Anak Saleh
9 mins read

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 128:  Doa Nabi Ibrahim agar Dikaruniai Anak Saleh

Setiap orang tua sejatinya memiliki impian yang sama, yaitu melihat anak-anak mereka tumbuh menjadi pribadi yang elok, berbudi luhur, dan taat kepada Allah. Anak yang saleh dan salehah merupakan dambaan bagi setiap ibu dan ayah. Mereka adalah perhiasan bagi keluarga, sekaligus amal jariyah yang akan mengalirkan pahala tanpa henti, bahkan ketika orang tua sudah tiada.   Kendati demikian, memiliki anak yang saleh tidak datang dengan sendirinya. Ia adalah pekerjaan yang panjang, simultan, usaha keras, dan pengorbanan tanpa henti.

Pasalnya, orang tua harus menjadi teladan bagi anaknya, menanamkan nilai-nilai agama sejak dini, dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan anak-anak mereka.   Untuk itu, pendidikan akhlak dan agama harus dimulai dari rumah, bahkan sejak anak masih kecil. Seperti kata pepatah, “Buah tak jatuh jauh dari pohonnya.” Anak-anak akan meniru perilaku dan kebiasaan orang tua mereka.

Jika orang tua menunjukkan kebaikan dan ketakwaan, maka anak-anak akan lebih mudah menyerap nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Di samping itu, salah satu cara terbaik untuk mendapatkan anak saleh-salehah adalah dengan mengamalkan doa. Pasalnya, doa orang tua mempunyai peran penting dalam keberhasilan pendidikan anak. Doa yang dipanjatkan dengan penuh harap dan ketulusan bisa menjadi penentu arah hidup seorang anak.  

Dalam Al-Qur’an, ada sebuah doa yang sangat indah dan penuh makna, yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim agar mendapatkan keturunan yang saleh. Doa ini terdapat dalam Surat Al-Baqarah Ayat 128:  

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ وَاَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَاۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ  

rabbanâ waj‘alnâ muslimaini laka wa min dzurriyyatinâ ummatam muslimatal laka wa arinâ manâsikanâ wa tub ‘alainâ, innaka antat-tawwâbur-raḫîm

Artinya: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada-Mu, (jadikanlah) dari keturunan kami umat yang berserah diri kepada-Mu, tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan manasik (rangkaian ibadah) haji, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”  

Tafsir Munir Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab Tafsir Al-Munir (Beirut, Darul Fikr al-Muashirah, 1991:I/314) mengatakan, doa yang dibaca Nabi Ibrahim yang termaktub dalam ayat ini mengajarkan bahwa setiap kali selesai melakukan amal kebaikan, kita sebaiknya memohon kepada Allah agar amal tersebut bisa diterima oleh Allah.

Selain itu, kita juga berdoa agar diri kita, keturunan, dan generasi selanjutnya senantiasa diberikan kesalehan.   Hal ini dilakukan agar ajaran Islam tetap terjaga dan lestari sepanjang masa, serta menampakkan rasa tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta langit dan bumi.

Dengan doa tersebut, kita berupaya menguatkan ikatan ketakwaan yang mengalir dalam darah keturunan kita. Syekh Wahbah mengatakan:  

في هذه الأدعية تعليم لنا أن نطلب في ختام أعمالنا قبولها، وأن ندعو بصلاح أنفسنا وذريتنا ليستمر الإسلام في كل زمان، ويظهر الانقياد والخضوع لخالق السماء والأرض  

Artinya: “Dalam doa-doa ini terdapat pelajaran bagi kita agar memohon penerimaan dari Allah di akhir setiap amalan kita. Selain itu, kita juga diajarkan untuk berdoa agar diri kita dan keturunan kita menjadi orang yang saleh, sehingga Islam dapat terus berlanjut di setiap masa dan tampak ketaatan serta ketundukan kepada Pencipta langit dan bumi.”  

Selanjutnya, Allah pun mengabulkan doa Nabi Ibrahim sebagaimana dituturkan dalam surat Al-Baqarah ayat 128 tersebut. Pasalnya, Allah Swt menjadikan ibadah haji sebagai salah satu cara untuk membersihkan diri dari dosa-dosa, serta menjadikannya sebagai tempat yang penuh keberkahan bagi setiap hamba yang datang untuk memohon ampunan-Nya.  

Lebih dari itu, Allah pun mengabulkan doa meminta keturunan yang saleh, dengan mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai rasul terakhir dari garis keturunan Nabi Ismail. Kehadiran Nabi Muhammad Saw tidak hanya menjadi jawaban atas doa tersebut, tetapi juga sebagai pembawa risalah yang sempurna bagi seluruh umat manusia. Melalui ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, Allah menunjukkan bahwa doa yang dipanjatkan dengan tulus dan penuh keyakinan.    

والله تعالى جعل المناسك ومواقف الحج أمكنة للتخلص من الذنوب وطلب الرحمة من الله، والله كريم رحيم. وقد أجاب الله دعاء إبراهيم وابنه إسماعيل، فأرسل خاتم النبيين محمدا صلّى الله عليه وسلم رسولا من العرب  

Artinya: “Allah Swt telah menjadikan tempat-tempat manasik dan lokasi-lokasi ibadah haji sebagai tempat untuk membersihkan diri dari dosa dan memohon rahmat dari-Nya. Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah juga telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, dengan mengutus penutup para nabi, yaitu Nabi Muhammad SAW, sebagai rasul dari kalangan bangsa Arab. (hal. 314).   Rasulullah pernah bahwa Nabi menyebut dirinya sebagai wujud dari doa Nabi Ibrahim:  

أنا دعوة أبي إبراهيم، وبشرى أخي عيسى، ورؤيا أمي  

Artinya: “Aku adalah doa (permohonan) dari ayahku Ibrahim, kabar gembira dari saudaraku Isa, dan mimpi (penglihatan) dari ibuku.”  

Tafsir Al-Misbah Dalam kitab Tafsir Al-Misbah (Ciputat, Penerbit Lentera Hati, 2002: I/326), Profesor Quraish Shihab menguraikan makna dari Surat Al-Baqarah ayat 128 berupa lanjutan permohonan Nabi Ibrahim kepada Allah Swt. Ia berdoa agar ia dan anaknya, Ismail, dijadikan sebagai hamba-hamba yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah.  

Selain itu, Nabi Ibrahim juga memohon agar keturunannya menjadi umat yang sama-sama tunduk dan patuh kepada Allah. Dalam konteks ibadah, permohonan ini mencerminkan sikap pengabdian kepada Allah, serta keinginan untuk menjadikan generasi mendatang sebagai penerus yang setia dalam beribadah.   Menurut Profesor Quraish, ibadah yang murni, khususnya ibadah haji, merupakan sebuah aktivitas yang harus dilakukan berdasarkan petunjuk yang ditetapkan oleh Allah.

Dalam hal ini, waktu, kadar, dan cara ibadah ditentukan secara langsung oleh Allah dan disampaikan melalui Rasul-Nya.   Akal manusia tidak berperan dalam menentukan ibadah itu sendiri, melainkan hanya dalam mencari hikmah di balik pelaksanaan ibadah tersebut.

Nabi Ibrahim meminta agar diajari cara-cara dan tempat-tempat yang tepat untuk melaksanakan ibadah haji, dan Allah mengabulkan doanya itu. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw yang menegaskan untuk mengambil tata cara ibadah haji melalui beliau. “Ambillah dariku manasik kalian”, yakni tata cara, waktu, dan tempat-tempat melaksanakan ibadah haji. (hal. 327)  

Setelah meminta petunjuk mengenai tata cara ibadah haji, Nabi Ibrahim. melanjutkan doanya dengan memohon kepada Allah agar menerima taubatnya dan memberikan kesadaran kepada dirinya serta umatnya untuk memahami kesalahan, menyesal, dan bertekad tidak mengulanginya lagi. Permohonan ini menunjukkan bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang.  

Tafsir Al-Qurthubi Sementara itu, Imam Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an (Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyah, 1964: II/126) menjelaskan kalimat Rabbanâ waj‘alnâ muslimaini laka (Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau). Menurutnya, lafaz “muslimaini” dalam ayat ini adalah maf’ul tsani, yang menunjukkan permohonan Nabi Ibrahim agar dirinya dan anaknya, Ismail, tetap istiqamah dalam ketundukan dan ketaatan kepada Allah.

Imam Qurthubi menegaskan bahwa lafaz “Islam” yang dimaksud dalam konteks ini bukan hanya menunjukkan status sebagai Muslim, tetapi juga mencakup makna keimanan dan amal saleh. Contoh untuk hal ini adalah firman Allah Swt dalam SUrat Ali Imran [3] ayat 19:    إِنَّ الَّذِينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ   Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai( di sisi Allah hanyalah Islam.”   Ini menunjukkan bahwa keimanan dan ketundukan yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail adalah bentuk dari Islam yang sempurna.

Dengan demikian, Imam Qurthubi berpendapat bahwa terdapat kesamaan antara konsep iman dan Islam dalam beberapa konteks Al-Qur’an. Hal ini didukung dengan dalil lain, seperti dalam Surah Adz-Dzariyat ayat 35-36, yang menyebutkan bahwa Allah mengeluarkan kaum beriman (mukmin) yang disebut sebagai kaum Muslim dari negeri kaum Luth.

Allah berfirman:   فَاَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيْهَا مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَۚ [35] فَمَا وَجَدْنَا فِيْهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِّنَ الْمُسْلِمِيْنَۚ [36]   Artinya: “Kami mengeluarkan orang-orang mukmin yang berada di dalamnya (negeri kaum Luth) (35). Kami tidak mendapati di dalamnya, kecuali sebuah rumah dari orang-orang muslim (Luth dan keluarganya) (36).”  

Maksud dalam kalimat wa min dzurriyyatinâ ummatam muslimatal laka (Dan [jadikanlah] di antara anak-cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau]: jadikanlah sebagian dari keturunan kami sebagai umat yang taat kepada-Mu. (hal. 126)   Menurut satu pendapat, semua nabi hanya mendoakan dirinya sendiri dan umatnya masing-masing, kecuali Nabi Ibrahim.

Sebab, selain beliau mendoakan dirinya sendiri dan umatnya, beliau juga mendoakan umat Islam (yang merupakan keturunannya).   Inilah yang membuat doa Nabi Ibrahim begitu spesial karena tidak hanya berharap ketaatan itu ada di zamannya, tetapi tetap terjaga hingga masa depan.

Doa ini juga menjadi bukti kasih sayang beliau yang tidak terbatas oleh waktu, seakan-akan menanam benih ketaatan yang akan terus tumbuh dan berbuah dalam setiap generasi keturunannya yang beriman.   Lebih jauh lagi, di zaman modern ini, ketika peran orang tua seringkali digantikan oleh institusi pendidikan, teknologi, dan lingkungan sosial, ayat ini mengingatkan kita pada pentingnya peran keluarga dalam membentuk karakter anak. Orang tua harus menjadi teladan utama, tidak hanya dalam hal duniawi, tetapi juga dalam hal keagamaan. Ketundukan, ketaatan, dan kesalehan harus dimulai dari diri orang tua, sebelum berharap hal yang sama dari anak-anak.  

Tak kalah penting, ayat ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa melibatkan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalam mendidik anak, mencari nafkah, atau menjalankan aktivitas sehari-hari, kita harus selalu mengingat bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak dan petunjuk dari Allah.

Oleh karena itu, setiap usaha harus disertai dengan doa dan permohonan, sebagaimana yang dicontohkan oleh para Nabi.   Pada akhirnya, doa Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS ini adalah cerminan dari harapan tertinggi seorang hamba: memiliki keturunan yang bukan hanya menjadi penerus nama keluarga, tetapi lebih dari itu, menjadi penerus nilai-nilai ketauhidan dan ketaatan kepada Allah SWT. Semoga tergapai. Wallahu a’lam.  

nuOnline: Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Parung.